RESENSI BUKU
Judul : Iman Melawan Nalar: Perdebatan Joseph Ratzinger melawan Juergen Habermas
Editor : Giancarlo Bosetti
Penerbit : Kanisius, Yogyakarta
Cetakan : Agustus 2009
Tebal : 87 halaman
Buku ini menceritakan tentang perdebatan antara dua tokoh, yaitu Joseph Ratzinger seorang teolog Katolik yang sangat memegang erat doktrin Gereja dan Juergen Habermas seorang filsuf yang tidak pernah puas dan sangat skeptis.
Perdebatan dimulai dengan dinamika perkembangan modernisasi, yaitu telah terjadi titik balik dalam hubungan antara agama dan kehidupan bermasyarakat, tepatnya adalah zaman sekarang ini. Dalam sejarah klasik perkembangan sekularisasi yang menitik beratkan pada pemisahan diri dari agama, dan ternyata ada suatu keteguhan hati terhadap agama dan kecenderungan yang semakin kuat untuk diperdebatkan dalam ranah publik. Artinya bahwa semakin santernya pembahasan tentang kebenaran-kebenaran doktrin agama diruang publik. Hal ini bertentangan dengan dugaan klasik bahwa semakin sekuler orang akan semakin tidak perduli dengan agama dan cenderung mereduksikannya kedalam dimensi pribadi.
Titik balik diataslah yang menjadi dasar perdebatan antara Ratzinger dan Habermas yang diprakarsai oleh Akademi Khatolik di Muenchen, Baviera, Jerman, Pada bulan Januari 2004. Sesuai dengan tema yang diangkat: “Apa yang Dimiliki Bersama oleh Dunia Ini? Dasar-dasar Moral Prapolitis dari Negara Liberal”, kedua tokoh tersebut memperdebatkan tentang kemungkinan-kemungkinan sekaligus menganalisis masa depan agama dalam dunia modern.
Dari perebatan kedua tokoh tersebut, memiliki pemahaman dan pandangan yang sama, yaitu peranan agama dalam dunia modern sekarang ini. Dan muncul konsep yang disepakati bersama dalam perbincangan Habermas dan Ratzinger adalah pascasekular. Perbincangan kedua tokoh tersebut yang menitik beratkan pada hubungan agama dan kehidupan bermasyarakat yang kemudian dalam buku ini menjadi pemabahasan. Pasca sekuler yang dimaksudkan oleh kedua tokoh tersebut dapat diartikan secara sederhana, yaitu bahwa semakin banyak memperdebatkan religiusitas dalam ranah publik akan menjadikan agama semakin kuat.
Dalam perdebatan ini Seorang Teolog yang sangat mempertahankan kebenaran doktrin Gereja, kelihatan cukup moderat dengan mengingatkan kembali kejadian 11 September 2001. Peristiwa tersebut diinspirasikan oleh keyakinan religius yang membenarkan terorisme Islam untuk melawan masyarakat Barat. Tetapi menurut Ratzinger, mutlak perlu melakukan suatu refleksi universal tentang “fanatisme religius” dan bukan “fanatisme Islam” seperti yang mungkin diharapkan para pendukungnya. Dia menyadari sepenuhnya bahwa kekerasan yang muncul atas nama agama perlu disikapi dengan amat bijak, tidak hanya dengan menggunakan macam-macam pendekatan, tetapi juga dengan kesadaran penuh bahwa kedamaian tidak akan tecapai lewat pemusnahan pihak lain dari muka bumi ini melalui perkembangan “sangkar besi” weberian tentang ekonomi kapitalis. Sangkar besi secara sederhana dapat dikatakan sebagai invasi atau menekan negara lain, tetapi harus ada proses penyelesaiannya yang melibatkan seluruh umat manusia, dan karena itu harus melibatkan seluruh agama dan kebudayaan lain didunia ini. Jawabannya bukan pula terletak pada perang agama dan jawaban itu tidak pula ditemukan dalam perang sipil.
Maka dari itu Ratzinger mengusulkan jawaban, yaitu adanya perjanjian antar iman dan nalar. Iman yang dimaksudkan oleh Ratzinger lebih pada nilai-nilai agama. Karena sudah sejak lama iman diyakini dengan teguh bahwa nalar itu mutlak perlu bagi iman, tetapi sekarang ditambah dengan suatu aktualitas baru: iman tidak hanya memberikan dasar kepada nalar untuk bekerja, tetapi berdialog untuk menentukan batas bidang kompetensi masing-masing. Artinya bahwa ada kepercayaan timbal-balik antara iman dan nalar dalam batasan masing-masing. Dalam perjanjian ini, iman mempercayakan diri pada nalar untuk membatasi kecenderungan iman untuk menjadi eksklusif, di lain pihak, nalar dan iman akan saling memberikan pengakuan akan kompetensi masing-masing.
Ratzinger mengatakan, nalar dan iman harus menyediakan tempat untuk berdialog. Nalar dan iman dapat saling belajar satu sama lain, yang satu berperan sebagai tapal batas bagi yang lain. Iman dan nalar perlu saling bertindak sebagai check and balance, yang berfungsi sebagai mekanisme kontrol dan rem jika terjadi ekses. Dalam hubungan ini, keduanya dapat saling memperkaya satu sama lain karena menjadi kekuatan komplementer.
Sedangkan Habermas melihat dari perspektif yang berbeda dengan Ratzinger, Habermas lebih menitik beratkan pada ranah politik. Habermas berangkat dari sebuah tesis, bahwa otonomi moral dan historis negara liberal itu menyatu dengan masyarakat sipil yang bersandar pada dasar-dasar prapolitis. Maka interaksi antara tradisi religius yang tersebar dalam masyarakat dan perubahan-perubahan yang terjadi karenanya sangat mempengaruhi kelangsungan hidup negara liberal. Habermas berpendapat bahwa lebih baik bersandar pada fakta empiris daripada masuk ke dalam teori umum tentang hal ini: walaupun lingkungan semakin menjadi sekuler, agama masih tetap bertahan. Filsafat harus memperhatikan fakta ini secara serius bukan haya sebagai faktor sosial, tetapi juga sebagai tantangan kognitif. Wilayah perbatasan tentang apa yang diwartakan oleh agama dalam kehidupan sosial zaman ini merupakan wilayah yang masih perlu dikaji dalam dialog yang sungguh-sungguh.
Kira-kira inilah yang menjadi isi pokok refleksi Habermas yang muncul dari pembicaraannya dengan Ratzinger. Agama dan nalar sekarang ini haruslah mempunyai sikap saling belajar satu sama lain, dan tidak melihat sekularisasi sebagi bentuk imperealisme yang satu terhadap yang lain, tetapi sebagai suatu “Pembelajaran Konplementer”.
Dari perdebatan kedua tokoh tersebut menggunakan sudut pandang masing-masing, memberikan gambaran dan penjelasan berbagai hal. Pendekatan filsafat dan teologi digunakan sebagai pisau bedah. Dari kedua tokoh tersebut dapat katakan bahwa, pertama, Ratzinger cukup moderat dalam melihat fakta sosial, misalnya dengan kritikan terhadap kejadian 11 November, tetapi dilain pihak Ratzinger tetap mempertahankan nilai-nilai kebenaran doktrin gereja, khususnya nilai-nilai Katolik. Namun dilain pihak Ratzinger lebih membenarkan kebenaran agama, padahal Ratzinger secara jelas mengkritik kejadian tersebut, hal ini letak Ratzinger dalam kemoderatannya dapat dikatakan “moderat Palsu”. Ratzinger sendiri dilatarbelakangi sebagai Kardinal, yang menduduki jabatan Santo Petrus yang secara jelas menjaga kebenaran agama yang tidak pernah salah. Kedua, Habermas yang merupakan seorang filsuf lebih menitik beratkan pada fakta empiris, dan tidak masuk dalam ranah absrtak tentang agama. Namun Habermas sendiri mengakui tentang usulan tentang perjanjian iman dan nalar, yang sebenarnya Habermas sendiri lebih mementing apa yang dapat dilihat secara langsung. Pengakuan Habermas tentang perjanjian iman dan nalar merupakan pembelajaran timbal balik, artinya bahwa adanya sikap mau saling belajar antara satu dengan yang lain. Kesepakatan akan adanya perjanjian iman dan nalar yang juga diakui oleh Habermas, hal ini meletakkan Habermas sedikit keluar dari fokusnya yang mengutamakan fakta empirik.
Menurut saya, perdebatan antara kedua tokoh tersebut dapat bermanfaat, karena dapat memberikan gambaran dan penjelasan tentang letak iman dan juga nalar. Iman dapat diletakkan dalam nilai-nilai kepercayaan, sedangkan nalar dapat diletakkan sebagai dasar untuk melakukan aktivitas kehidupan. Tetapi dalam peletakan hal tersebut perlu diingat bahwa kedua hal tersebut saling mempercayai dan adanya hubungan timbal balik. Artinya bahwa iman dan nalar harus saling belajar, sehingga dapat memahami letak dan batasan masing-masing.
0 komentar:
Posting Komentar