Pada saat yang sama saya berfikir untuk membuat suatu hal teraneh dan terbodoh, namun pada saat yang sama pula saya di minta untuk menjadi yang terbaik. Entah berasal dari mana imajinasi untuk berbuat hal teraneh, dan yang terlintas dalam pikiran adalah kepenatan dan kesesakan yang kurasakan begitu menggunung. Kepenatan mengantar saya pada sebuah imajinasi kegilaan.
Pengaruh itu begitu kuat pada diriku. Saya hampir tidak dapat membendung kekuatan kegilaan itu, kegilaan itu bertebaran dengan kekuatan harapan dari mereka. Mungkin mereka tahu apa yang saya pikirkan, apa yang saya bayangka, apa yang terjadi padaku. Mungkin juga mereka tidak tahu. Menjadi bimbang dengan dua tabrakan dalam diriku sekaligus, entah harus bagaimana dan semakin sesak dadaku menahan itu semua.
Berhari-hari aku harus menemukan hal yang sama dalam diriku. Seperti terkungkung dalam sebuah jeruji besi, membuatku semakin tak berdaya menghapinya. Keterkungkungan membuatku seakan mati dalam kesadaranku. Dan kesadaranku pula yang membangkitkan kembali semangatku untuk bertahan.
Haruskah Ku Lari?
Melarikan diri bukanlah pilihan yang rasional, karena ketika saya semakin jauh berlari akan semakin terkejar. Menunggupun seakan menanti seorang pembunuh yang bengis, seperti seekor beruang ataupun harimau. Berada dalam kebimbangan. Akal sudah capai berfikir untuk bertahan dan terus bertahan, akal seakan tidak bermanfaat, seakan mati, seakan membisu. Haruskahku berteriak pada mereka supaya terdengar suara yang tersiksa. Aaah… dimanakah harus memohon, hati dan diri ini semakin terpuruk dalam lubang yang sama. Adakah yang berfikir bahwa aku manusia yang tersiksa, adakah mereka merasakan apa yang ku rasakan. Ataukah menikamku secara perlahan sehingga aku mati secara perlahan juga, membuatku mati suri. Entahlah, harus seperti apa jadinya aku. Mereka seperti yang tuli, bisu dan tak perduli dengan keadaanku yang tersiksa.
Mampukah aku bebas dari itu semua, mampukah aku terhindar dari itu semua. Hanya akallah yang tersisa yang harus ku paksa untuk selalu berfikir (walaupun sudah sangat lelah) sehingga menyadarkanku dari keterpurukan. Berusaha untuk selalu berfikir dan berfikir sehingga sadar. Mereka hanyalah ilusi yang membuatku semakin terpojok (hayalan penyemangat).
Apakah kebebasan itu? Apakah bebas menurutku dan bebas berbuat apa saja? Sarte mengatakan “Human is condemned to be free” dan pandangan Sarte sangat bertepatan dengan kejadian yang menimpaku, saya harus mengatur atau mengomandai kebebasanku sendiri. Namun, apakah saya bisa melakukan sepenuhnya yang dikatakan Sarte? Kayaknya agak berat, karena sadar ataupun tidak kita sudah diatur dalam sebuah aturan dan batas tertentu walaupun kebebsan itu tetap ada.
Dalam keadaan yang tersesat dan kebingungan, satu-satunya alat tempur adalah kata-kata. Menurut beberapa teman bahwa kata-kata itu magis, karena dengan kata masalah dapat diselesaikan dan dapat diskusikan yang akan menjadi sebuah solusi. Asumsi itu menjadi senjata bagi saya untuk bertahan dari berbagai serangan yang datang bertubi-tubi. Untunglah pengalaman dari berbagai proses yang dilalui dapat terserap dengan baik. Hal ini kemudian dapat di jalankan dalam keseharian yang penuh dengan tuntutan.
Catatan ini merupakan pengalaman hidup saya. Thanks,..
0 komentar:
Posting Komentar