Pages

Kamis, 26 Mei 2011

SHAKESPEARE IN LOVE

1 komentar

Resensi Film
Starring: Joseph Fiennes & Gwynneth Paltrow
Genre: Romance/Comedy
Video Release: 30 November 1999



Sebenarnya film lama, namun karena memang saya yang kurang informasi film-film romonatis sebagus ini jadi baru tanggal 25 Mei 2011 saya menontonnya. Awalnya saya menonton merasa bosan, karena belum terlihat permainan emosi dalam alur cerita film ini. Ketegangan dan keseriusan menonton baru pada ¼ film ini.

Film ini dikisahkan pada tahun 1593 di London, kehidupan penulis muda drama teater yang bernama William Shakespeare (Joseph Fiennes) mengalami masalah/bangkrut. Kehidupan cintanya kacau dan amburadul, tidak memiliki uang dan buruknya adalah William kehilangan ide untuk melanjutkan menulis. Akhirnya muncul spekulasi dan imajinasi William menyelesaikan proyek drama terbarunya "Romeo and Ethel the Sea Pirate’s Daughter". Judul dramanya ini baru ada dalam pikirannya dan belum satupun kata yang dia tuliskan. Semangat menulisnya muncul kembali ketika bertemu dengan Thomas Kent yang mengikuti audisi aktor drama yang akan dipentaskan. Dalam audisi tersebut Thomas Kent memainkan sebuah adegan yang sangat menarik perhatian William dan sampai tergila-gila kepadanya. Kekagumannya terhadap Kent tidak berjalan mulus, Kent memilih kabur dari audisi tersebut. Karena kekagumannya yang begitu kuat membuat William tidak putus semangat untuk mengetahui siapa Thomas Kent.

Dalam usahanya untuk menemukan sosok Thomas Kent mengantarnya dalam pertemuannya dengan seseorang wanita muda nan anggun. Wanita itu adalah Viola De Lesseps (Gwyneth Paltrow) yang merupakan wanita yang memerankan Thomas Kent. Pandangan pertama William langsung membuatnya sangat mengagumi Viola, William memutuskan untuk berkenalan dengan wanita idamannya tersebut. Perkenalan berlangsung dalam sebuah acara dansa yang berlangsung di rumah Viola. Namun perjalanan perkenalannya tidak berjalan mulus, William terhalang dari Lord Wessex yang sudah di setujui oleh Ratu Elizabeth I (Judi Dench) untuk dijodohkan menjadi suami-istri.

Usahanya untuk mendapatkan pujaan hatinya tidak sia-sia, Viola juga sangat mengagumi William yang sudah begitu terkenal di Inggris. Akhirnya mereka memadu asmara dengan sembunyi-sembunyi. Cinta mereka begitu kuat. Kekuatan cinta inilah yang pada akhirnya Viola ngotot main drama yang di tulis oleh William. Viola sangat mencintai William, namun wanita ini sudah di jodohkan sehingga tidak mungkin William bisa menikah dengan Viola. Apalagi faktanya bahwa William sudah memiliki istri walaupun tidak bahagia.
Cinta mereka memang tidak bersatu, namun cinta William tetap abadi untuk Viola dan begitu sebaliknya. Film ini sangat bagus dan perfectlah. Yang belum menontonnya silahkan menonton.

Kebimbangan

0 komentar
Pada saat yang sama saya berfikir untuk membuat suatu hal teraneh dan terbodoh, namun pada saat yang sama pula saya di minta untuk menjadi yang terbaik. Entah berasal dari mana imajinasi untuk berbuat hal teraneh, dan yang terlintas dalam pikiran adalah kepenatan dan kesesakan yang kurasakan begitu menggunung. Kepenatan mengantar saya pada sebuah imajinasi kegilaan.
Pengaruh itu begitu kuat pada diriku. Saya hampir tidak dapat membendung kekuatan kegilaan itu, kegilaan itu bertebaran dengan kekuatan harapan dari mereka. Mungkin mereka tahu apa yang saya pikirkan, apa yang saya bayangka, apa yang terjadi padaku. Mungkin juga mereka tidak tahu. Menjadi bimbang dengan dua tabrakan dalam diriku sekaligus, entah harus bagaimana dan semakin sesak dadaku menahan itu semua.
Berhari-hari aku harus menemukan hal yang sama dalam diriku. Seperti terkungkung dalam sebuah jeruji besi, membuatku semakin tak berdaya menghapinya. Keterkungkungan membuatku seakan mati dalam kesadaranku. Dan kesadaranku pula yang membangkitkan kembali semangatku untuk bertahan.

Haruskah Ku Lari?

Melarikan diri bukanlah pilihan yang rasional, karena ketika saya semakin jauh berlari akan semakin terkejar. Menunggupun seakan menanti seorang pembunuh yang bengis, seperti seekor beruang ataupun harimau. Berada dalam kebimbangan. Akal sudah capai berfikir untuk bertahan dan terus bertahan, akal seakan tidak bermanfaat, seakan mati, seakan membisu. Haruskahku berteriak pada mereka supaya terdengar suara yang tersiksa. Aaah… dimanakah harus memohon, hati dan diri ini semakin terpuruk dalam lubang yang sama. Adakah yang berfikir bahwa aku manusia yang tersiksa, adakah mereka merasakan apa yang ku rasakan. Ataukah menikamku secara perlahan sehingga aku mati secara perlahan juga, membuatku mati suri. Entahlah, harus seperti apa jadinya aku. Mereka seperti yang tuli, bisu dan tak perduli dengan keadaanku yang tersiksa.
Mampukah aku bebas dari itu semua, mampukah aku terhindar dari itu semua. Hanya akallah yang tersisa yang harus ku paksa untuk selalu berfikir (walaupun sudah sangat lelah) sehingga menyadarkanku dari keterpurukan. Berusaha untuk selalu berfikir dan berfikir sehingga sadar. Mereka hanyalah ilusi yang membuatku semakin terpojok (hayalan penyemangat).
Apakah kebebasan itu? Apakah bebas menurutku dan bebas berbuat apa saja? Sarte mengatakan “Human is condemned to be free” dan pandangan Sarte sangat bertepatan dengan kejadian yang menimpaku, saya harus mengatur atau mengomandai kebebasanku sendiri. Namun, apakah saya bisa melakukan sepenuhnya yang dikatakan Sarte? Kayaknya agak berat, karena sadar ataupun tidak kita sudah diatur dalam sebuah aturan dan batas tertentu walaupun kebebsan itu tetap ada.

Dalam keadaan yang tersesat dan kebingungan, satu-satunya alat tempur adalah kata-kata. Menurut beberapa teman bahwa kata-kata itu magis, karena dengan kata masalah dapat diselesaikan dan dapat diskusikan yang akan menjadi sebuah solusi. Asumsi itu menjadi senjata bagi saya untuk bertahan dari berbagai serangan yang datang bertubi-tubi. Untunglah pengalaman dari berbagai proses yang dilalui dapat terserap dengan baik. Hal ini kemudian dapat di jalankan dalam keseharian yang penuh dengan tuntutan.

Catatan ini merupakan pengalaman hidup saya. Thanks,..

Sabtu, 14 Mei 2011

Iman dan Nalar “Pembelajaran Komplementer”

0 komentar
RESENSI BUKU
Judul : Iman Melawan Nalar: Perdebatan Joseph Ratzinger melawan Juergen Habermas
Editor : Giancarlo Bosetti
Penerbit : Kanisius, Yogyakarta
Cetakan : Agustus 2009
Tebal : 87 halaman

Buku ini menceritakan tentang perdebatan antara dua tokoh, yaitu Joseph Ratzinger seorang teolog Katolik yang sangat memegang erat doktrin Gereja dan Juergen Habermas seorang filsuf yang tidak pernah puas dan sangat skeptis.
Perdebatan dimulai dengan dinamika perkembangan modernisasi, yaitu telah terjadi titik balik dalam hubungan antara agama dan kehidupan bermasyarakat, tepatnya adalah zaman sekarang ini. Dalam sejarah klasik perkembangan sekularisasi yang menitik beratkan pada pemisahan diri dari agama, dan ternyata ada suatu keteguhan hati terhadap agama dan kecenderungan yang semakin kuat untuk diperdebatkan dalam ranah publik. Artinya bahwa semakin santernya pembahasan tentang kebenaran-kebenaran doktrin agama diruang publik. Hal ini bertentangan dengan dugaan klasik bahwa semakin sekuler orang akan semakin tidak perduli dengan agama dan cenderung mereduksikannya kedalam dimensi pribadi.
Titik balik diataslah yang menjadi dasar perdebatan antara Ratzinger dan Habermas yang diprakarsai oleh Akademi Khatolik di Muenchen, Baviera, Jerman, Pada bulan Januari 2004. Sesuai dengan tema yang diangkat: “Apa yang Dimiliki Bersama oleh Dunia Ini? Dasar-dasar Moral Prapolitis dari Negara Liberal”, kedua tokoh tersebut memperdebatkan tentang kemungkinan-kemungkinan sekaligus menganalisis masa depan agama dalam dunia modern.
Dari perebatan kedua tokoh tersebut, memiliki pemahaman dan pandangan yang sama, yaitu peranan agama dalam dunia modern sekarang ini. Dan muncul konsep yang disepakati bersama dalam perbincangan Habermas dan Ratzinger adalah pascasekular. Perbincangan kedua tokoh tersebut yang menitik beratkan pada hubungan agama dan kehidupan bermasyarakat yang kemudian dalam buku ini menjadi pemabahasan. Pasca sekuler yang dimaksudkan oleh kedua tokoh tersebut dapat diartikan secara sederhana, yaitu bahwa semakin banyak memperdebatkan religiusitas dalam ranah publik akan menjadikan agama semakin kuat.
Dalam perdebatan ini Seorang Teolog yang sangat mempertahankan kebenaran doktrin Gereja, kelihatan cukup moderat dengan mengingatkan kembali kejadian 11 September 2001. Peristiwa tersebut diinspirasikan oleh keyakinan religius yang membenarkan terorisme Islam untuk melawan masyarakat Barat. Tetapi menurut Ratzinger, mutlak perlu melakukan suatu refleksi universal tentang “fanatisme religius” dan bukan “fanatisme Islam” seperti yang mungkin diharapkan para pendukungnya. Dia menyadari sepenuhnya bahwa kekerasan yang muncul atas nama agama perlu disikapi dengan amat bijak, tidak hanya dengan menggunakan macam-macam pendekatan, tetapi juga dengan kesadaran penuh bahwa kedamaian tidak akan tecapai lewat pemusnahan pihak lain dari muka bumi ini melalui perkembangan “sangkar besi” weberian tentang ekonomi kapitalis. Sangkar besi secara sederhana dapat dikatakan sebagai invasi atau menekan negara lain, tetapi harus ada proses penyelesaiannya yang melibatkan seluruh umat manusia, dan karena itu harus melibatkan seluruh agama dan kebudayaan lain didunia ini. Jawabannya bukan pula terletak pada perang agama dan jawaban itu tidak pula ditemukan dalam perang sipil.
Maka dari itu Ratzinger mengusulkan jawaban, yaitu adanya perjanjian antar iman dan nalar. Iman yang dimaksudkan oleh Ratzinger lebih pada nilai-nilai agama. Karena sudah sejak lama iman diyakini dengan teguh bahwa nalar itu mutlak perlu bagi iman, tetapi sekarang ditambah dengan suatu aktualitas baru: iman tidak hanya memberikan dasar kepada nalar untuk bekerja, tetapi berdialog untuk menentukan batas bidang kompetensi masing-masing. Artinya bahwa ada kepercayaan timbal-balik antara iman dan nalar dalam batasan masing-masing. Dalam perjanjian ini, iman mempercayakan diri pada nalar untuk membatasi kecenderungan iman untuk menjadi eksklusif, di lain pihak, nalar dan iman akan saling memberikan pengakuan akan kompetensi masing-masing.
Ratzinger mengatakan, nalar dan iman harus menyediakan tempat untuk berdialog. Nalar dan iman dapat saling belajar satu sama lain, yang satu berperan sebagai tapal batas bagi yang lain. Iman dan nalar perlu saling bertindak sebagai check and balance, yang berfungsi sebagai mekanisme kontrol dan rem jika terjadi ekses. Dalam hubungan ini, keduanya dapat saling memperkaya satu sama lain karena menjadi kekuatan komplementer.

Sedangkan Habermas melihat dari perspektif yang berbeda dengan Ratzinger, Habermas lebih menitik beratkan pada ranah politik. Habermas berangkat dari sebuah tesis, bahwa otonomi moral dan historis negara liberal itu menyatu dengan masyarakat sipil yang bersandar pada dasar-dasar prapolitis. Maka interaksi antara tradisi religius yang tersebar dalam masyarakat dan perubahan-perubahan yang terjadi karenanya sangat mempengaruhi kelangsungan hidup negara liberal. Habermas berpendapat bahwa lebih baik bersandar pada fakta empiris daripada masuk ke dalam teori umum tentang hal ini: walaupun lingkungan semakin menjadi sekuler, agama masih tetap bertahan. Filsafat harus memperhatikan fakta ini secara serius bukan haya sebagai faktor sosial, tetapi juga sebagai tantangan kognitif. Wilayah perbatasan tentang apa yang diwartakan oleh agama dalam kehidupan sosial zaman ini merupakan wilayah yang masih perlu dikaji dalam dialog yang sungguh-sungguh.
Kira-kira inilah yang menjadi isi pokok refleksi Habermas yang muncul dari pembicaraannya dengan Ratzinger. Agama dan nalar sekarang ini haruslah mempunyai sikap saling belajar satu sama lain, dan tidak melihat sekularisasi sebagi bentuk imperealisme yang satu terhadap yang lain, tetapi sebagai suatu “Pembelajaran Konplementer”.
Dari perdebatan kedua tokoh tersebut menggunakan sudut pandang masing-masing, memberikan gambaran dan penjelasan berbagai hal. Pendekatan filsafat dan teologi digunakan sebagai pisau bedah. Dari kedua tokoh tersebut dapat katakan bahwa, pertama, Ratzinger cukup moderat dalam melihat fakta sosial, misalnya dengan kritikan terhadap kejadian 11 November, tetapi dilain pihak Ratzinger tetap mempertahankan nilai-nilai kebenaran doktrin gereja, khususnya nilai-nilai Katolik. Namun dilain pihak Ratzinger lebih membenarkan kebenaran agama, padahal Ratzinger secara jelas mengkritik kejadian tersebut, hal ini letak Ratzinger dalam kemoderatannya dapat dikatakan “moderat Palsu”. Ratzinger sendiri dilatarbelakangi sebagai Kardinal, yang menduduki jabatan Santo Petrus yang secara jelas menjaga kebenaran agama yang tidak pernah salah. Kedua, Habermas yang merupakan seorang filsuf lebih menitik beratkan pada fakta empiris, dan tidak masuk dalam ranah absrtak tentang agama. Namun Habermas sendiri mengakui tentang usulan tentang perjanjian iman dan nalar, yang sebenarnya Habermas sendiri lebih mementing apa yang dapat dilihat secara langsung. Pengakuan Habermas tentang perjanjian iman dan nalar merupakan pembelajaran timbal balik, artinya bahwa adanya sikap mau saling belajar antara satu dengan yang lain. Kesepakatan akan adanya perjanjian iman dan nalar yang juga diakui oleh Habermas, hal ini meletakkan Habermas sedikit keluar dari fokusnya yang mengutamakan fakta empirik.
Menurut saya, perdebatan antara kedua tokoh tersebut dapat bermanfaat, karena dapat memberikan gambaran dan penjelasan tentang letak iman dan juga nalar. Iman dapat diletakkan dalam nilai-nilai kepercayaan, sedangkan nalar dapat diletakkan sebagai dasar untuk melakukan aktivitas kehidupan. Tetapi dalam peletakan hal tersebut perlu diingat bahwa kedua hal tersebut saling mempercayai dan adanya hubungan timbal balik. Artinya bahwa iman dan nalar harus saling belajar, sehingga dapat memahami letak dan batasan masing-masing.

Sumba Dalam Bayangku

0 komentar
Saya adalah orang sumba, Putra asli Sumba, terlahir dan besar di sumba. Tulisan ini saya tulis untuk mengenang tanahku yang memberikan segalanya untukku. Tema yang saya angkatpun adalah Sumba Dalam Bayangku, hal ini sengaja saya tulis untuk di jadikan sebuah cahaya untuk mengenang Sumba yang berjasa besar bagi pertualangan hidupku.

Bagi banyak orang Sumba identikkan dengan daerah yang primitif, daerah yang masih memeluk Agama Marapu, daerah yang banyak kuda liarnya, sampai-sampai di ketawain teman-teman yang bukan orang Sumba. Dalam bayangan mereka kuda liar adalah kuda yang tidak ada pemiliknya, padahal kuda-kuda tersebut memiliki tuan. Tidak dipersoalkan anggapan mereka dan wajar saja kalau anggapan kuda liar itu berlebihan, karena memang yang terjadi kuda-kuda tersebut dilepas berkeliaran dipadang sabana yang luas untuk memncari makannya sendiri. Saking membayakan kuda liar nyantol juga di susu kuda liar (saya belum pernah mencicipi susu kuda liar).

Namun, teman-teman yang menertawakan keberadaan kuda liar tertantang untuk mengunjungi sumba. Perkiraan saya adalah mungkin salah satunya ingin melihat kuda liar sehingga ada niat mereka untuk berkunjung ke sumba. Bukan hanya kuda liarnya saja, varian wisata lain juga tidak kalah menarik untuk dinikmati dan dikunjungi.

Membayangkan Sumba dari Tanah Seberang.

Mengenang sumba yang merupakan tanah kelahiran sebuah ekspresi yang tidak berlebebihan, akan tetapi hal yang wajar. Secara pribadi saya memandang sumba sebagai “Surga”. Surga dalam tanda kutip bermaksud bukan seperti surga yang pernah diajarkan dalam agama-agama, namun surga yang memberikan kebahagian bagiku.

Secara garis besar sumba masih sangat tertinggal dengan daerah lain, seperti jawa, namun seiring berjalannya waktu pembangunan terus digalakkan apalagi diera otonomi daerah. Bagi banyak orang, sumba masih sangat terbelakang, masih tertinggal, masih kurang segala-galanya, akan tetapi bagi ku sumba adalah kebahagianku. Tak berlebihan ketika saya mengatakan demikian, karena memang saya dibesarkan dengan budayanya.

Menjadi orang sumba memberikan kebahagian yang terbesar dalam hidupku. Pengalaman sejak kecil sampai besar mengantar saya sebagai orang sumba tulen yang mencintai karya-karyanya. Sebagai seoarang yang mencari secercah harapan di tanah orang membawaku dalam ruang keheningan untuk mengenangnya. Berpisah dengan surgaku tidak memudarkan semangat dan cintaku terhadapnya. Bayangan selalu teringat adalah ringkik kudamu dan wangi cendanamu.

Kekuatan Marapu Masih Bertahan

Mungkin sumba merupakan salah satu daerah di Indonesia yang mempertahankan budayanya. Masyarakat sumba masih menjalankan budaya Marapu. Marapu menjadi falsafah hidup bagi berbagai ungkapan budaya Sumba. Marapu merupakan kepercayaan terhadap roh nenek moyang/leluhur. Kepercayaan ini masih hidup ditengah-tengah masyarakat Sumba.

Kekuatan Marapu masih sangat kuat, masyarakat Sumba masih menjalankan ritus-ritus Marapu dalam kehidupan sehari-harinya. Marapu mendasari segala aspek kehidupan masyarakat Sumba, dan hal ini yang kemudian menjadi landasan bergeraknya orang sumba. Dalam era modernisasi, masyarakat sumba masih mempertahankan budaya Marapu, walaupun tidak dapat dipungkiri ada sebagian yang sudah melupakan. Namun pada umumnya Budaya marapu masih hidup di tengah-tengah masyarakat.

Budaya marapu sudah mendarah daging disetiap masyarakat sumba, tidak terkecuali saya. Satu pengalaman, saya ditanyakan teman tentang agama saya, dengan spontanitas saya menjawab saya agama Marapu. Padahal dalam KTP saya jelas-jelas Agama Kriten Protestan.hehehehe. parah. Setelah saya menjawab pertanyaan itu baru menyadari bahwa saya beragama Kristen, dan saya beranggapan tak apalah, mungkin memang Marapu sudah melekat kuat dalam diriku sehingga saya menjawab demikian.

Beriringan dengan saya masih berfikir dengan jawaban yang tadi, teman saya juga melanjutkan pertanyaannya, kenapa kamu mengatakan demikian? Jawabku, yah,,itu mungkin ekspresi saya terhadap kearifan (kekayaan budaya daerahku) daerahku.

Teman saya semakin penasaran dan melanjutkan pertanyaannya. Mengapa kamu sangat bangga dengan kepercayaan Marapumu? Saya bukan menjawab, namun bertanya balik, kenapa kamu bangga dengan kepercayaanmu saat ini, padahal kalau dipikir itu budaya (agama) luar yang di bawa kesini, padahal sebenarnya nenek moyangmupun memiliki kepercayaan suku sebelumnya. Teman saya menjawab, karena agamaku mengajarkan tentang kasih. Dan saat itu saya menjawab, bahwa Marapupun mengajarkan hal yang sama, cuman pendekatannya yang berbeda. Saya menyambung dengan memberikan perumpamaan, satu tambah satu hasilnya dua, tiga kurang satu hasilnya juga dua, artinya kedua hasil tersebut sama, namun perbedaannya pada pendekatan, jadi tidak jauh berbeda dengan pendekatan yang digunakan agama-agama yang ada.

Temanku ini tidak merasa puas dengan jawaban saya. Dengan spontan saya mengatakan demikian, ngapain kita membahas agama, wong kita tidak percaya agama. Kitakan percaya Tuhan, bukan agama bro, untuk itu kita bahas yang lain saja. Akhirnya kamipun mencari topik lain untuk di diskusikan.

Berkaitan dengan cerita pengalaman saya, menceritakan sumba menjadi suatu semangat yang menggebu-gebu. Karena, setiap orang sumba sangat bangga menjadi orang sumba.

Sebagai persembahan terhadap tanah kelahiranku saya hanya menaruh harapanku untuk tetap terjaga dan menjadi tempat yang selalu dikenang dan tak akan dilupakan. Sumba engkau adalah nafasku, engkau adalah jiwaku, engkau adalah rohku. I Love Sumba and God Bless.

Senin, 09 Mei 2011

Momentum Fenomenal Sumpah Pemuda

0 komentar
Tanggal 28 Agustus 2010 mengingatkan kita kembali pada 86 tahun yang lalu, dimana perwakilan-perwakilan pemuda Nusantara berkumpul di Jakarta untuk mempersatukan semangat menuju Indonesia yang bersatu. Sekilas memikirkan memang tidak ada yang unik dari momentum tersebut, selain kisah heroik anak bangsa yang bergelut pada masa-masa revolusi.
Pernyataan sikap tentang satu tanah air, bangsa, dan bahasa mengaktualisasikan semangat kebangsaan yang beraneka ragam identitas. Rumusan perbedaan itu melebur dalam semangat kesatuan dan persatuan atau yang sering disebut dengan Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda tetap satu jua) menjadi dasar semangat pengakuan terhadap identitas Indonesia yang sangat beragam dan multikultur. Keanekaragaman kultur Indonesia ini menjelaskan bahwa perbedaan ini adalah salah satu pemersatu yang menjelaskan keindahan kultur Indonesia.
Semangat Sumpah Pemuda yang dipelopori Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) menjadi pengantar sejarah semangat perjuangan pemuda Nusantara waktu itu. Kongres Pemuda II menghasilkan sumpah setia terhadap eksistensi kebangsaan. Sumpah itu kemudian dikenal dengan Sumpah Pemuda yang mengisyaratkan bahwa persatuan dan kesatuan hanya bisa diraih dengan pemahaman tentang sejarah bangsa, bahasa, pendidikan, dan kemauan untuk bangkit dan sejajar dengan bangsa-bangsa lain. Sumpah Pemuda inilah yang mengubah paradigma bangsa dari bangsa yang terjajah menjadi bangsa yang bertekad meraih kemerdekaan dengan dukungan peran pemuda yang terdidik dan terpelajar.
Momentum fenomenal
Sumpah Pemuda menjadi momentum fenomenal yang menginspirasi semangat kebangsaan dan kesatuan sampai saat ini. Momentum ini menguburkan perbedaan-perbedaan yang ada dan melebur dalam satu semangat satu tanah air, bangsa, dan bahasa.
Cerminan persatuan dan kesatuan ini merefleksikan keadaan pemuda saat ini. Terlepas dari sejarah perjuangan waktu itu, pemuda yang dikenal dengan agen perubahan memiliki beban moral yang besar dalam perjalanan bangsa ini. Jatuh bangunnya bangsa ini tidak terlepas dari tanggungjawab generasi-generasi muda Indonesia, karena masa depan negara ini terletak pada pundak para pemuda bangsa ini.
Momentum fenomenal ini merupakan goresan tinta sejarah bangsa Indonesia dan tidak pernah kering untuk menuliskan peran kaum muda dalam momentum perjuangan bangsa. Pemikiran dan gagasan kaum muda selalu menjadi inspirasi kebangkitan bangsa ke arah perubahan. Perjuangan kaum muda pada saat itu telah mengantar bangsa ini sampai pada gerbang kemerdekaan yang kita rasakan sampai saat ini. Pertanyaannya adalah: kemerdekaan yang seperti apakah?
Pertanyaan di atas akan menjadi pertanyaan reflektif bagi pemuda-pemuda saat ini, khususnya mahasiswa. Perlu disadari bahwa tanggungjawab mahasiswa sangatlah besar, untuk itu refleksi diperlukan untuk mengenang 86 tahun yang lalu dan memikirkan apa yang harus dilakukan saat ini sebagai pemuda harapan bangsa.
Dengan demikian ada beberapa hal yang perlu menjadi pemikiran pemuda. Pertama, inspirasi masa lalu harus menjadi dasar filosofis yang menginspirasi kebangkitan bangsa dari keterpurukan. Kedua, semangat masa lalu bias menjadi dasar menjajal era modern dan globalisasi dalam membebaskan manusia Indonesia, bukan sebaliknya. Daya kritis dan energi positif tidak boleh dijadikan penghambat, melainkan akselerator dan dinamisator masa depan.
Tantangan jaman
Perubahan zaman telah mengubah paradigma bangsa ini, yang dulu adalah murni perjuangan fisik melawan penjajahan, sekarang menjadi perjuangan kesadaran dalam penguasaan iptek. Perkembangan iptek telah banyak memproduksi kemudahan manusia. Salah satu hasil iptek adalah perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang begitu pesat. Kesadaran untuk maju di alam modern ditentukan oleh seberapa besar kehendak dan respon pemuda terhadap dinamika zaman. Era globalisasi yang ditandai dengan akselerasi kemajuan teknologi seakan-akan mengarahkan paradigma manusia, bahwa penguasaan dan perubahan itu sendiri akan terjadi hanya ketika pemanfaatan, penguasaaan, dan eksplorasi teknologi yang sebesar-besarnya terjadi.
Negara-negara di belahan dunia lain sebagai sumber globalisasi sangat memahami pentingnya penguasaan teknologi informasi dan komunikasi. Tidak heran jika penguasaan terhadapnya telah menjadi sumber utama kemajuan kehidupan mereka. Tidak heran jika penguasaan teknologi informasi dan komunikasi telah menjadikan mereka sebagai penguasa ekonomi di dunia. Dengan momentum Sumpah Pemuda ini, pemuda harus becermin untuk selalu meningkatkan kualitas diri, sehingga dapat mengusai perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.
Tidaklah cukup selalu berharap pada kejayaan masa lalu. Artinya, jangan hanya bereuforia dengan semangat masa lalu. Potensi pemuda begitu besar dalam proses pembangunan bangsa ini, maka dari itu akhir tulisan ini: percumalah hidup ini kalau masa muda hanya untuk bersenang-senang, karena kegagalan akan selalu mengiringimu.

Tulisan ini sudah di muat di Scientiarum.com
pada tanggal 29 October 2010

Masa Depan Tak Jelas

1 komentar
Sore itu, sekitar pukul 15.00 WIB (kurang lebihnya begitu). Kami memulai pembicaraan mengenai kehidupan, cinta, Tuhan, Sosial, Ekonomi, Politik, dan banyak lagi. Cerita yang yang berlangsung kelihatannya tanpa titik maupun koma, mengalir begitu saja. Hal itu terjadi, mungkin karena kondisi cafeteria UKSW yang begitu bersahaja dan memberikan ruang bebas untuk setiap orang berkreasi.
Cerita kami berlanjut terus dengan ditemani segelas kopi hitam dan beberpa batang rokok yang terletak diatas meja depan kami berdua. Menjadi semakin menarik pembericaraannya dengan senggolan sedikit teori-teori yang pernah kami baca di buku-buku. Adapun itu semisal konsep kesadaran, eksistensi, sosiologi, ekonomi, dll. Kami mengaitkan banyak hal dalam diskusi kami tersebut.
Tanpa terasa waktupun semakin sore dan menjelang malam, seiring dengan itu membawa kami membicarakan masa depan yang dihadapi nanti. Kalimat pertama yang terungkap adalah kita ini tidak jelas, karena kita kuliah saja di tentukan oleh orang tua yang secara tidak langsung masa depan kita ditentukan oleh orang tua. Akhirnyapun saya bertanya mampukah kita bebas?. Kami berduapun bingung memecahkan pertanyaan tersebut. Teman saya mengatakan, memang kita diciptakan menjadi manusia bebas, namun karena kita hadir ditengah banyak orang ya kita harus mengikuti aturan banyak orang (aturan yang berlaku), begitu hal dalam kehidupan rumah tangga, sebagai anak kita terikat kontrak (kayak kontrak kerja aja…hahahhaa) dengan orang tua.
Kembali lagi saya lontarkan pertanyaan, bahwa kita hidup dalam bayang-bayang dong?
Jawabannya, bisa dikatakan demikian. Karena kita dibayangi dengan segala macam harapan (secara tidak langsung itu mengikat kita untuk menjalani semua perintah orang tua) orang tua yang sudah dititahkan pada kita, dan itu sudah terjadi sejak kita masih dalam kandungan, bahkan masih ketika baru diprogramkan sebagai anak (kayak program kerja LK saja..wkwkwkwkwk). Akhirnya kami menyadari bahwa memang menjadi anak lebih berat ketika menjadi orang tua, kenapa?. Semua harapan orang tua maupun masyarakat harus dilakukan oleh si anak. Memang banyak kejadian pemberontakan yang dilakukan oleh anak, namun, pemberontakan itu akan terpental ketika kita memikirkan jasa orang tua yang begitu besar terhadap kita sampai besar seperti sekarang ini.
Sayapun bertanya lagi, apakah hanya kita memikirkan masa depan kemudian semuanya akan terlaksana dalam keadaan sadar?
Satu pertanyaan ini kayak menjebakku dalam satu kurungan jeruji besi. saya merenung sejenak dan mulai memikirkan, ya, seharusnya masa depan itu kita yang tentukan sendiri, namun orang tua hanya menitipkan harapan supaya kita menjadi yang terbaik kedepannya. Tetapi disisi lain saya berfikir apakah hanya dengan ketersedian diri kita masa depan itu akan dapat terwujud?.
Saya mulai memikirkan kembali apa yang didiskusikan (diskusi dalam FB) oleh dua orang teman saya yaitu, Lussua dan Fredy berkaitan dengan kesadaran. Saya berfikir mungkin kesadaran itu di barengi dengan impian manusia, karena mungkin melalui impian manusia belajar mempunyai tujuan masa depan. Dengan Referensi berdiskusi dan membaca Note teman di FB, saya memikirkan masa depan saya seharus seperti apa. Mungkin jadi tukan ojek kali ya,…hehehehehheeee
Mungkin semua ini sebagai reflektif bagi saya untuk bangkit menatap masa depan yang masih kabur, sehingga dapat melaluinya dengan kesiapan yang matang.