Pengafiran terhadap Marx bukan hal asing lagi. Dia dianggap anti-Tuhan. Hal itu disebabkan aforisme Marx tentang agama yang menyatakan agama sebagai candu dari masyarakat {It (religion) is the opium of the poeple}.
Aforisme itu sangat terkenal sekali dan sampai saat ini masih tetap menjadi kajian. Senada dengan 'pengafiran' itu adalah teori Ludwig Feuerbach yang mengkritik teosentrisme agama. Bagi Feuerbach, teosentrisme telah melupakan hakikat antroposentrisme dari agama.
Keduanya penganut mazhab materialisme. Mereka menolak bentuk-bentuk abstrak. Bagi mereka, kekuatan-kekuatan Tuhan dapat ditemukan dalam diri manusia, yakni berupa kekuatan supraindrawi yang bersemayam dalam diri manusia, akal budi (pikiran), kehendak (nafsu), dan perasaan (hati). Ini berbeda dari pandangan umum yang menganggap ketiga unsur tersebut hanya sebagai bagian dari manusia.
Menurut Feuerbach, ketika manusia ingin menggapai pertemuan dengan Tuhan. Tuhan dengan kasih sayang-Nya mewahyukan diri-Nya selaras dengan bahasa manusia, selaras dengan kodrat manusia karena jika tidak demikian, manusia tak akan sanggup memahaminya.
Sedangkan cara yang selaras baik dengan kodrat manusia maupun kesempurnaan Tuhan ialah dengan menghadirkan diri-Nya sebagai wujud kesempurnaan kodrat manusia. Wujud konkret adalah ketika manusia mengejawantahkan dirinya dalam alam material.
Dan Marx mengatakan, ''Agama sesungguhnya adalah kesadaran-diri dan penghormatan manusia atas kesejatian dirinya sendiri dalam situasi diri sejatinya belum lagi terwujud atau masih lenyap. Dan manusia sendiri bukanlah makhluk abstrak yang menghuni dunia di luar dunia ini''.
Memahami secara instan pemikiran mereka tentu membingungkan, dan boleh jadi menimbulkan beragam interpretasi. Melalui buku Agama bukan Candu perspektif lain itu terlihat ketika penulis memahami makna agama yang digali dari 'teks-teks abstrak' Marx, misalnya. Pertama, agama menurut Marx dalam perspektif penulis adalah ajaran tentang menjadi ideal, dan ajaran itu niscaya hadir dalam masyarakat yang belum mencapai wujud idealnya atau dalam masa kegelapan. Kondisi ketidakidealan itulah yang menuntut suatu agama.
Kedua, agama hadir sebagai ajaran yang bersifat eksternal dalam diri manusia, entah dalam wujud nabi, kitab suci, ataupun para pemimpin keagamaan. Dan yang kedua ini, menurut penulis, mungkin kurang disepakati Marx karena Marx mencita-citakan sebuah kondisi sosiohistoris dengan setiap individu akan menemukan pencerahan diri sendiri.
Jadi, makna 'candu' yang dimaksud Marx bukanlah sebagai surga bayangan, surga yang tidak riil, surga tidak konkret, melainkan sebagai gambaran hakikat mengenai apakah agama itu. Agama adalah impian dan harapan akan kehidupan surgawi, namun kehidupan surgawi itu bukanlah surgawi di dunia ini, melainkan di sana. Akan tetapi, bila hidup terus-menerus mencandu, secara tak langsung telah melupakan dunia sekitar, dunia dalam bermasyarakat.
Kondisi riil yang ditemukan Marx, dan masih berlanjut sampai saat ini, adalah kondisi agama hanya menjadi milik sebagian orang, agama yang borjuis-kapitalistis, dan agama yang egosentris. Bayangkan saja ketika hak interpretasi agama hanya menjadi otoritas elite agamawan, ketika agama hanya menjadi milik 'orang baik-baik', dan ketika dakwah keagamaan menjadi komoditas.
0 komentar:
Posting Komentar