Pendahuluan
Secara garis besar sumba terbagi atas empat kabupaten, yaitu, kabupaten Sumba Timur, Sumba Barat, Sumba Tengah dan Sumba Barat Daya. Masyarakat Sumba cukup mampu mempertahankan kebudayaan aslinya ditengah-tengah arus pengaruh asing yang telah singgah di kepulauan SUMBA sejak dahulu kala. Kepercayaan asli orang Sumba yaitu, Marapu, kepercayaan terhadap roh nenek moyang/leluhur mereka. Kepercayaan ini masih hidup ditengah-tengah masyarakat Sumba. Marapu menjadi falsafah hidup bagi berbagai ungkapan budaya Sumba. Mulai dari upacara-upacara adat, rumah-rumah ibadat (umaratu) rumah-rumah adat dan tata cara rancang bangunannya, ragam-ragam hias ukiran-ukiran dan tekstil sampai dengan pembuatan perangkat busana seperti hinggi (kain) dan lawu (sarung) serta perlengkapan perhiasan dan senjata.
Sumba sangat terkenal dengan strata sosial, terlebih di Sumba Timur strata sosial masih sangat kental. Strata sosial terdiri dari tiga golongan yaitu, maramba (bangsawan), kabihu (orang biasa atau orang merdeka dan pendeta), dan ata (hamba). Hal ini masih berlaku sampai sekarang, walaupun tidak setajam dimasa lalu dalam perbedaan strata sosial antara bangsawan, orang biasa atau orang merdeka, dan hamba. Sehingga dalam menggunakan pakaian adat juga sangat tergantung pada strata sosial. Misalnya dalam upacara adat tertentu, dari golongan bangsawan memakai hinggi (kain) dan lawu (sarung) yang lebih bagus/halus dari pada golongan hamba yang hanya memakai hinggi (kain) dan lawu (sarung) yang biasa-biasa saja.
Kabupaten Sumba Timur sangat terkenal tenun ikatnya yang berupa hinggi (kain) dan lawu (sarung). Penggunaan pakaian adat lebih ditunjukkan oleh tingkat kepentingan kegiatan seperti pada pesta-pesta adat, upacara-upacara perkawinan dan upacara penguburan, dimana komponen-komponen busana yang dipakai adalah simbol kehormatan dan kebiasaan yang sudah turun-temurun. Masyarakat Sumba mempunyai kententuan dalam menggunakan pakaian adat. Seperti contoh dalam upacara adat dan kematian orang Sumba harus memakai pakaian adat yang masih baru atau yang masih bagus, sedangkan yang sudah usang biasanya dipakai untuk keseharian atau dalam bekerja.
Bagian terpenting dari perangkat pakaian adat Sumba terletak pada penutup badan berupa lembar-lembar besar hinggi (kain) dan lawu (sarung). Hinggi (kain) dan lawu (sarung) tersebut, dirancang dengan teknik tenun ikat Sumba serta yang dikolaborasikan dengan aksesoris busana lain, sehingga semua busana itu dapat terungkap dalam bermacam simbol seperti, kegiatan sosial, kegiatan ekonomi, serta keagamaan orang Sumba.
Busana Adat
Setiap daerah didunia ini tentunya memiliki busana masing-masing. Busana-busana ini berhubungan erat dengan nilai-nilai budaya yang dianut oleh suatu kelompok masyarakat. Begitupun dengan masyarakat Sumba, busana adat merupakan tuangan karya dan karsa dari tatanilai Marapu (system Kepercayaan) yang dianut oleh masyarakat Sumba.
Busana adat Sumba merupakan kain sarung, dengan tenun ikat. Bangunan tenun ikat kemudian dihias dengan motif-motif khas yang masing-masing motif mempunyai makna tersendiri, dalam kebudayaan Sumba.
Busana adat Sumba kemudian dibagi menjadi dua: 1. Busana yang bersifat Maskulin, busana ini terdiri dari kain (Hinggi), dilengkapi dengan peralatan perang Kabela (parang), serta Kalumbut, sebagai tempat untuk menyimpan perbekalan. 2. Busana yang bersifat feminin. Terdiri dari Sarung (lau), kalumbut sebagai tempat perbekalan, dan beberapa hiasan mutisalak (Anahida), mas dan gading.
Budaya
Budaya adalah keseluruhan system gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik dari manusia dengan belajar. Hal tersebut berarti bahwa seluruh tindakan manusia adalah “kebudayaan” karena sedikit saja kegiatan masyarakat yang dibiasakannya dengan belajar. Setiap daerah didunia pasti punya budaya, begitu juga sumba pasti punya budaya. Dalam pembahasan ini lebih pada pakaian/busana orang sumba khususnya orang Sumba timur. Pakaian adat Sumba khususnya Sumba Timur sangat erat kaitannya dengan Marapu. Marapu sangat berperanan penting dalam setiap aspek kehidupan orang Sumba, baik itu social, politik, ekonomi, dll.
Simbol-Simbol
Manusia sebagai makluk hidup yang berakal-budi memiliki kemampuan untuk menggunakan simbol-simbol sehingga dengan demikian manusia dapat belajar dan mengembangkan kebudayaan serta mewariskannya kepada keturunannya. Hal ini berarti bahwa tanpa disadari suatu fenomena sosial budaya mengandung pesan-pesan tertentu. Agar pesan-pesan tersebut dapat diteruskan dan dapat difahami orang lain, maka pemberi makna harus menyampaikannya dalam sistem konvensi simbolik tertentu. Pesan-pesan itu harus disampaikan dengan mengikuti aturan-aturan penggunaan simbol yang ada dan bersifat sosial atau kolektif. Aturan-aturan tersebut dapat didefinisikan sebagai ”pedoman untuk berperilaku menurut tata-cara tertentu”. Aturan-aturan itu tidak hanya bertalian dengan akal budi dan pengertian manusia saja, melainkan dengan seluruh pola kehi-dupannya. Dapat dikatakan bahwa semua aktifitas manusia berlangsung berdasarkan aturan-aturan tertentu, demikian pula halnya dengan penggunaan simbol-simbol
Dengan demikian manusia adalah makluk yang dipandang mampu untuk menciptakan dan mengembangkan berbagai wahana simbolik untuk menyampaikan pikiran dan perasaannya kepada pihak yang lain. Kemampuan untuk melakukan pemaknaan itu mem-punyai implikasi bahwa kehidupan manusia merupa-kan kehidupan yang penuh dengan makna, sehingga fenomena sosial-budaya dapat dikatakan sebagai fenomena simbolik karena fenomena-fenomena yang muncul itu dapat dimaknai oleh pelakunya.
BUSANA ADAT PRIA
Sebagaimana telah disebutkan busana masyarakat Sumba dewasa ini cenderung lebih ditekankan pada tingkat kepentingan serta suasana lingkungan suatu kejadian dan status sosial. Perbedaan-perbedaan kecil. Misalnya busana pria bangsawan biasanya terbuat dari kain-kain dan aksesoris yang lebih halus daripada kepunyaan rakyat jelata, tetapi komponen serta tampak keseluruhannya sama. Menilik hal-hal tersebut maka pembahasan busana pria sumba ditujukan pada pakaian tradisional yang dikenakan pada peristiwa besar, upacara, pesta-pesta dan sejenisnya. Karena pada saat-saat seperti itulah ia tampil dalam keadaan terbaiknya. Busana pria Sumba terdiri atas bagian-bagian penutup kepala(Tiara), penutup badan dan sejumlah penunjangnya berupa perhiasan dan senjata tajam(Kabiala).
Sebagai penutup badan digunakan dua lembar hinggi yaitu hinggi kombu dan hinggi kaworu. Hinggi kombu dipakai pada pinggul dan diperkuat letaknya dengan sebuah ikat pinggang kulit yang lebar. Hinggi kaworu atau terkadang juga hinggi raukadama digunakan sebagai pelengkap. Di kepala dililitkan tiara patang, sejenis penutup kepala dengan lilitan dan ikatan tertentu yang menampilkan jambul. Jambul ini dapat diletakkan di depan, samping kiri atau samping kanan sesuai dengan maksud dan kepentingan sendiri. Jambul di depan misalnya melambangkan kebijaksanaan dan kemandirian. Hinggi dan tiara terbuat dari tenunan dalam teknik ikat dan pahikung. Khususnya yang terbuat dengan teknik pahikung disebut tiara pahudu.
Ragam-ragam hias yang terdapat pada hinggi dan tiara terutama berkaitan dengan alam lingkungan mahluk hidup seperti abstraksi manusia (tengkorak), udang, ayam, ular, naga, buaya, kuda, ikan, penyu, cumi-cumi, rusa, burung, kerbau sampai dengan corak-corak yang dipengaruhi oleh kebudayaan asing (Cina dan Belanda) yakni naga, bendera tiga warna, mahkota dan singa. Kesemuanya memiliki arti serta perlambang yang berangkat dari mitologi, alam pikiran serta kepercayaan mendalam terhadap marapu. Warna hinggi juga mencerminkan nilai estetis dan status sosial. Hinggi terbaik adalah hinggi kombu kemudian hinggi kawaru lalu hinggi raukadana dan terakhir adalah hinggi panda paingu.
Selanjutnya busana pria Sumba dilengkapi dengan sebilah kabiala yang disisipkan pada sebelah kiri ikat pinggang. Sedangkan pergelangan tangan kiri dipakai kanatar dan mutisalak. Secara tradisional busana pria tidak menggunakan alas kaki, namun dewasa ini perlengkapan tersebut semakin banyak digunakan khususnya didearah perkotaan. Kabiala adalah lambang kejantanan, muti salak menyatakan kemampuan ekonomi serta tingkat sosial. Demikian pula halnya perhiasan-perhiasan lainnya. Secara menyeluruh hiasan dan penunjang busana ini merupakan simbol kearifan, keperkasaan serta budi baik seseorang.
BUSANA ADAT WANITA
Pakaian pesta dan upacara wanita Sumba Timur selalu melibatkan pilihan beberapa kain yang diberi nama sesuai dengan teknik pembuatannya seperti lau kaworu, lau pahudu, lau mutikau dan lau pahudu kiku. Kain-kain tersebut dikenakan sebagai sarung setinggi dada (lau pahudu kiku) dengan bagian bahu tertutup taba huku yang sewarna dengan sarung.
Di kepala terikat tiara berwarna polos yang dilengkapi dengan tiduhai atau hai kara. Pada dahi disematkan perhiasan logam (emas atau sepuhan) yaitu maraga, sedangkan di telinga tergantung mamuli perhiasan berupa kalung-kalung keemasan juga digunakan pada sekitar leher, menjulur kegian dada.
Kesimpulan
Masyarakat sumba masih mampu mempertahankan budayanya, terlebih pakaian adat.
Pakaian adat Sumba merupakan symbol dari kebudayan, terutama sebagai wujud penghormatan terhadap Marapu.
Sumba sangat kental dengan strata sosialnya, itu juga terwujud dalam penggunaan pakaian adat.
Hinggi dan lau tidak sembarang dipakai, tetapi lebih pada tingkat kepentingan peristiwa.
Busana adat orang sumba banyak motif dan bentuk yang di pakai dalam merangkai Hinggi dan Lau.
Motif-motif tersebut bukan saja hanya sebagai symbol yang tidak memiliki arti tetapi memiliki arti yang spiritual yang sangat kental dengat kekuatan marapunya.
Daftar Pustaka
o Wellem, F. D. injil & Marapu. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004.
o Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT RINEKE CIPTA, 1990.
0 komentar:
Posting Komentar