Tulisan ini sebenarnya sudah tercantum dalam catatan saya di FB tertanggal 24 September 2010 jam 0:54, catatan ringan ini awalnya sebatas iseng-iseng saja dan juga sekalian mendengar pendapat teman-teman di FB. Namun, catatan yang awalnya iseng ditanggapi oleh banyak teman dengan varian komentar masing-masing. Hal demikian sangat positif dalam melihat dan menganalisis kasus korupsi yang melanda Negara ini.
Indonesia diperhadapkan dengan kasus-kasus korupsi yang tak ada habis-habisnya, masyarakatpun ikut pusing dengan perilaku para koruptor. Isu Korupsipun menjadi bahan diskusi yang menarik bagi siapa saja saat ini. Pada tingkatan Elit itu menjadi musik pengantar tidur, lalu bagi kita menjadi beling yang bertebaran dijalan yang lagi menunggu langkah kita. Akhirnya Negeri ini menjadi Negeri yang penuh dengan keanehan. Aneh yang dimaksudkan ada sekian banyak aturan yang memiliki sanksi namun tetap saja terjadi korupsi dan merajalela.
Apa yang harus dilakukan? Serba bingung juga, dengan hukum saja tidak mampu, dengan teriakan setiap saat saja juga tidak mempan. Menyedihkan melihat semua ini, padahal kemiskinan, busung lapar, dll semakin meningkat. Apa sih yang dipikirkan oleh mereka? Hal demikian menjadi tantangan bagi semua insan dalam merenungi perjalanan bangsa ini yang penuh dengan tipu muslihatnya.
Ya Sudahlah Kata Bondan Prakosa ada benarnya juga, apa boleh buat mungkin negeri ini sudah menjadi tempat para perampok-perampok.
Korupsi-korupsi lagi, apa sih yang di inginkan, apakah seharusnya RASA MALU ITU (Aturan sosial berlaku disitu, misalnya setiap koruptor diberi hukuman membersihkan Got (pembuangan sampah) atau apasaja dengan arak-arakan masyarakat) menjadi ujung tombak penumpasan KORUPSI. Kenapa? Hukum saja sudah tidak mempan, jadi mungkin Rasa Malu itu yang bisa menjadi media penyadaran bagi Koruptor.
Komentar-komentar :
Parman Pasanje: Pada prinsipnya saya sepakat. Disatu sisi kebiasaan korupsi (mulai dari hal kecil) sudah mendarah daging dalam masyarakat. Kemudian pelaku korupsi yang telah divonis bersalah setelah menjalani hukuman masih diterima dengan baik oleh masyarakat, hingga masih diperkenankan mengikuti bursa pilkada. Dalam masyarakat belum ada social punishment kepada pelaku korupsi.
Marthin Majangga: Mungkin di negeri ini harus di berlakukan hukuman gantung bagi pelaku korupsi, sehingga pada ilfil semua untuk korupsi.
Lussua Hanyi: Saya ulangi salah satu komentar plesetan saya tadi siang "dengan tidur di kursi DPR, kusekolahkan anakku sampai ke luar negeri"
lalu siapa yang menjadi korban?
Parman Pasanje: Bisa sebagai salah satu cara. Mengikuti china yang telah sukses memberantas korupsi dengan hukuman berat. Tapi pemaknaan korupsi masih meluas dan mendasar dipahami oleh masyarakat luas, misal gratifitasi, pada saat ini hal itu dianggap lumrah
Marthin Majangga: @Lussua, saya tidak mendengar itu tadi atau mungkin saya lupa, ya yang dirugikan masyarakat Indonesia.
Marthin Majangga: Seharusnya pendidikan politik harus berjalan, sehingga masyarakt itu ngerti, tidak hanya diam dan menikmati alunan musik korupsi.
Lussua Hanyi: Lalu negara terutama pemerintah,ada untuk siapa sekarang kalo melihat fenomena yang ada?
Parman Pasanje: Seharusnya manusia indonesia ada untuk negaranya, dan negara ada untuk rakyatnya. Tidak bermaksud menunjuk siapa yang bertanggung jwab, akan tetapi permasalahan korupsi merupakan tanggung jwab moral. semua ikut menanggung. pencerahan dibidang politik sangat bagus.
Marthin Majangga: Untuk diri sendiri.
Marthin Majangga @Parman: Saya kira juga masyarakat sudah cukup banyak berpartisipasi menuntaskan korupsi di negeri ini. Menjadi aneh memang kalo dipikir-pikir, wong mereka semakin merajale seja. ataukah kita juga harus ikut merampok??...wkwkwkwkwkkwk
Yosua Yoga Wicaksono: Rasa malu sebatas pada "kemaluan" itupun seiring berkembangnya teknologi, orang juga sudah gak malu dengan "kemaluannya" video esek-esek para pejabat banyak tuh.
Marthin Majangga @Yosua: hahahha....semua hal tak ada yang mempan,...dasar negeri tempat bernaungnya para perampok-perampok yang tak ada "Kemaluan".
Reima Afluria Widhiyanti: Gak sah di DPR, lha wong di UKSW bahkan di LK bahkan di BPMU aja ada korupsi kok, hei......ngaca dulu kawan.. hahaha.
Lussua Hanyi: Apakah ini menjadi kesalahan lembaga?ataukah individu di dalam lembaga?
Reima Afluria Widhiyanti: Aeh..pagi2 udah hanyi.. yg ada individu atau lembaga dulu?itu sudah jawabannya.
Lussua Hanyi: Haha..tumben re bangun pagi. Apabila yang dimaksud adalah lembaga legal, sudah jelas..individu yang ada terlebih dahulu. tetapi apakah itu jawabannya?mengapa?
Reima Afluria Widhiyanti: heh! ngece! Re selalu bangun pagi yah.. ah Paket (Pak Ketum) ini banyak tanya! bikin males. Paket pasti taulah jawabannya.. so jawab sendiri gih..hahah.
Lussua Hanyi: haha, masa sih selalu bangun pagi.
Kalau saya sih bertanya terus :
1. Mengasah kemampuan pikir, terutama bertanya.
2. Ya memang ingin tahu, karena memang g tau.
3. Bisa membantu saya dan teman-teman dalam membangun argument, gitu ceritanya.
Lussua Hanyi: Kembali ke topik: Apabila yang dimaksud adalah lembaga legal, sudah jelas, individu yang ada terlebih dahulu. Tetapi apakah itu jawabannya?mengapa?
Natalia Kusnadi: Paket, gak usah jauh-jauh di cari tau aja mengenai masalah korupsi yang lagi santer terdengar di kampus.
Lussua Hanyi: sebenarnya apabila didiskusikan dan kemudian mencoba melakukan pengamatan dan refleksi. Bisa diterapkan dalam banyak konteks dan tempat, salah satunya di kampus.
Reima Afluria Widhiyanti: Ahh, Paket ini, jangan main-main diranah teori terus, moving lah.
Lussua Hanyi: Aliran kritisisme, tidak hanya pengalamn empiris yang diperlukan, tetapi juga kemampuan mengolah kebenaran apriori.
Reima Afluria Widhiyanti: Wah maaf, Re penganut tradisi empiris abad ke-19 yang dibawa oleh john locke & david hume.haiaaaaa.. hahaha.
Lussua Hanyi: Haha....saya sedikit bersetuju dengan David Hume, tapi saya cenderung lebih bersepakat dengan Immanuel Kant.
Reima Afluria Widhiyanti: Aehhh, kalau diskusi ini dlanjutkan paling-paling mentok di subjektivisme & relativisme..hahah…udah ahh.
Lussua Hanyi: hahaha...Re tau aja...huehehehehe
Natalia Kusnadi: Yah dicobalah, kan udah tau tuh berat-berat mengenai kasus ni, yah ditindak lanjutilah.
Shinta Sabaora: Seharusnya pemaknaan pada Etika Birokrasi apabila dipahami secara baik maka ketakutan-ketakutan masyarakat salah satunya Korupsi tidak sedemikian pelik. Tapi kembali ketika dilembaga-lembaga yang sudah ada kode etiknya masih saja terjadi korupsi "maka etika birokrasipun sudah tidak diindahkan. Etika birokrasi baru ada secara tertulis dalam lembaga peradilan, kepolisian, pengacara, kedokteran, tetapi kasus-kasus pun juga muncul dari lembaga-lembaga tersebut. Bahasa masyarakat yg sudah tak peduli adalah sama saja..hahahahahhaha..
Mari mendoakan mereka yang mewakili kita menjalankan roda organisasi pemerintahan ini. Berharap pada keajaiban Tuhan merubah semua situasi ini, dengan tekad dalam diri generasi muda, untuk tdk bosan-bosan menyuarakan keadilan, kebenaran. Mari belajar bersama menjadi orang-orang yang profesional, memiliki integritas, dan bertanggungjawab.
Tuan Dennist Dawnezt: Mualailah dari kita yang mengoceh (prinsip pemutusan mata rantai) hal kecil tersebut niscaya akan membawa dampak yang besar.
Kesimpulan dari diskusi ini adalah kembali pada diri sendiri dan selalu mendoakan bangsa ini sehingga terjadi perubahan. Bravo Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar